Hadatst Besar


Pengertian hadas besar
Hadas besar mengikut istilah syara’ ertinya sesuatu yang maknawi (kotoran yang tidak dapat dilihat oleh mata kasar), yang berada pada seluruh badan seseorang, yang dengannya menegah mendirikan solat dan amal iadah seumpamanya, selama tidak diberi kelonggaran oleh syara’. Selama seseorang itu tidak menempuh atau melakukan salah satu perkara yang menyebabkanhadas besar, maka selama itu badannya suci dari hadas besar. Sebab dinamakan hadas besar ialah kerana kawasan yang didiami atau dikenai ole hadas besar ini terlalu luas iaitu meliputi seluruh badan dan rambut.

Perkara-perkara yang menyebabkan kedatangan hadas besar
Seseorang itu disebut berhadas besar menakala menempuh atau melakukan salah satu daripada 6 perkara yang berikut :
1.      Keluarnya mani (air sperma) bagi laki-laki
2.      Bertemunya 2 alat kelamin (kelamin laki-laki dan kelamin perempuan)
3.      Haid/Menstruasi
4.      Melahirkan
5.      Nifas (keluarnya darah setelah melahirkan)
6.      Meninggal dunia

Perkara-perkara yang diharamkan dengan sebab berhadas besar
1.      Sholat
2.      Tawaf
3.      Menyentuh Al-Qur’an
4.      Membaca Al-Qur’an.
5.      I’tikaf
6.      Berpuasa
7.      Berjima’
PROBLEMATIKA

Menyentuh Quran Terjemahan Tanpa Wudhu

Dewasa ini mungkin telah menjadi suatu yang amat umum dikalangan masyarakat bahwa menyentuh Al-Qur’an/Al-Qur’an terjemah tanpa berwudlu sudah menjadi kebiasaan, bahkan telah menjadi budaya yang tak disadari hukumnya, maka disini kami akan membahas tentang bagaimana hukum menyentuh Al-Qur’an/Al-Qur’an terjemah bagi orang yang tidak dalam keadaan suci.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah keharusan berwudhu' untuk menyentuh mushaf. Sebagian ulama mensyaratkan namun sebagian lainnya tidak mensyaratkannya.
1. Yang Mengharuskannya
Di antara ulama yang mengharuskan berwudhu' sebelum menyentuh mushaf adalah Al-Imam Abu Hanifa, Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahumullah.
2. Yang Tidak Mengharuskannya
Sedangkan para ulama dari kalangan mahzab Zhahiri tidak mengharuskan berwudhu' untuk menyentuh mushaf.

Penyebab Perbedaan
Sebenarnya kedua kelompok yang berbeda pendapat ini sama-sama menggunakan dalil ayat Quran yang satu juga, yaitu:
Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan (QS. Al-Waqiah: 79)
Namun metode pendekatan masing-masing saling berbeda. Kelompok yang mengharuskan wudhu' menafsirkan kataal-muthahharun (mereka yang disucikan) di dalam ayat di atas sebagai manusia. Dan lafadz laa yamassuhu bernilai larangan bukan sekedar kabar atau pemberitahuan belaka.
Jadi kesimpulan hukumnya menurut kelompok ini adalah manusia tidak boleh menyentuh mushaf Al-Quran kecuali bila telah disucikan. Dan makna disucikan adalah bahwa orang itu sudah berwudhu.
Kelompok yang tidak mewajibkan wudhu' menafsirkan kata al-muthahharun di dalam ayat di atas sebagai malaikat. Sehingga tidak ada kewajiban bagi manusia untuk berwudhu' ketika menyentuh mushaf Al-Quran.
Selain itu lafadz laa yammassuhu (tidak menyentuh Al-Quran) menurut mereka tidak bernilai larangan melainkan bernilai khabar (pemberitahuan) bahwa tidak ada yang menyentuh Al-Quran selain para malaikat. Maka tidak ada larangan apapun bagi seseorang untuk menyentuh mushaf meski tidak dalam keadaan suci.
Namun sumber perbedaan di antara keduanya memang bukan semata-mata perbedaan dalam memahami ayat di atas saja, tetapi memang ada dalil lainnya yang digunakan untuk menguatkan argumentasi masing-masing.
Misalnya, mereka yang mengharuskan wudhu menambahi hujjah mereka dengan hadits berikut ini:
Dari Amru bin Hazm bahwa Rasulullah SAW menuliskan: Tidaklah seseorang menyentuh Al-Quran kecuali dalam keadaan suci. (HR Malik 1/199, Abdurrazzaq 1/341, Al-Baihaqi 1/87 dan Ad-Daruquthuni 1/121)
Hadits ini dinilai sebagai hadits hasan li ghairihi oleh para ulama. Namun sebagian orang tidak menerima hadits ini lantaran diriwayatkan lewat tulisan (mushahhafah).

Ijtihad Tentang Quran Terjemah
Kemudian pertanyaan berikutnya adalah apakah mushaf yang ada terjemahannya itu terbilang sebagai mushaf juga atau bukan?
Ada sebagian dari ulama yang memandang bahwa ketika sebuah mushaf tidak hanya terdiri dari lafadz Al-Quran, tetapi juga dilengkapi dengan terjemahan atau penjelasan-penjelasan lainnya, maka dinilai sudah bukan termasuk mushaf secara hukum.
Namun umumnya ulama tetap tidak membedakan antara keduanya, meksi telah dilengkapi dengan terjemahan, tetap saja ada lafadz arabnya. Sehingga identitas ke-mushafan-nya tetap lekat tidak bisa dipisahkan.
Share this article :

+ komentar + 1 komentar

Anonim
23 November 2012 pukul 23.09

makasih bapa


nama :awaliatunnisa
kelas :VII D

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Fiqih Tsanawiyah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger