Latest Post
Najis
Ketentuan dan Tatacara Membersihkan Najis
Sudah
dimaklumi bahwa Syari'at Allah dan Rasul-Nya telah memperkenalkan kepada kita eksistensi barang yang najis atau yang terkena najis dan juga telah menjelaskan
kepada kita kaifiyah, cara membersihkannya. Kita wajib ittiba' (mengikut)
petunjuk-Nya dan merealisasikan
perintah-Nya. Misalnya, manakala ada dalil yang memerintah mencuci sampai tidak
tersisa bau, atau rasa ataupun warnanya, maka itulah cara membersihkannya.
Apabila ada dalil yang menyuruh dituangkan, atau disiram, atau digosok dengan
air, atau digosokkan ke tanah, ataupun sekedar dipakai berjalan di permukaan
bumi, maka itulah cara mensucikannya. Dan ketahuilah bahwa air merupakan
pembersih aneka najis yang utama dan pertama. Hal ini didasarkan pada
penjelasan Rasulullah saw. tentangnya, di mana Rasulullah saw. bersabda, "Allah telah menciptakan air sebagai pembersih." (as-Sailul Jarrar I:48, no: 42). (Mengenai sabda Nabi saw., "Allah telah menciptakan air sebagai pembersih" ini Al-hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Talkhishul Habir I: 14
menegaskan, "Aku tidak menjumpai hadits yang persis seperti itu, hanya
yang semakna yang telah disebutkan di muka melalui Abu Sa'ad dengan
"Sungguh air itu suci tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu apapun"
selesai).
Oleh
sebab itu, tidak boleh bergeser kepada pembersih lain kecuali apabila ada
kejelasan dari Nabi saw. Jika tidak ada, maka tidak boleh. Karena beralih dari
sesuatu yang sudah dimaklumi sebagai pembersih kepada sesuatu yang tidak
diketahui berfungsi sebagai pembersih, ini berarti menyimpang dari ketentuan
rel syari'ah. (as-Sailul Jarrar I:48 no: 42 dengan sedikit diringkas).
Jika kita sudah memahami apa yang diuraikan di atas, maka ikutilah penjelasan syara' perihal sifat dan kiat membersihkan barang-barang yang najis atau yang terkena najis.
Jika kita sudah memahami apa yang diuraikan di atas, maka ikutilah penjelasan syara' perihal sifat dan kiat membersihkan barang-barang yang najis atau yang terkena najis.
1.
Membersihkan Kulit Bangkai dengan
Menyamaknya.
Sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam riwayat berikut: Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: "Saya
mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Kulit
apa saja yang disamak, maka ia menjadi suci.'" (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2907, al-Fathur Rabbani I: 230
no:49, Tirmidzi III: 135 no: 1782 dan Ibnu Majah II:1193 no: 3609 serta Nasa'i
VII: 173).
2.
Membersihkan Bejana yang
Dijilat Anjing
Sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam riwayat dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Sucinya bejana seorang di antara kamu bila dijilat anjing
ialah (hendaklah) ia
mensucinya tujuh kali, yang pertama dicampur dengan debu tanah.'" (Shahih: Shahihul Jami'ush Shaghir no: 3933 dan Muslim I:234 no:
91/279).
3.
Mensucikan Pakaian yang
Terkena Darah Haidh
Sebagaimana yang dijelaskan
dalam riwayat Asma' berikut ini, dari Asma' binti Abu Bakar ra, ia berkata,
"Telah datang seorang perempuan kepada Nabi saw. seraya berkata, pakaian
seorang di antara kami, terkena daerah haidh, bagaimana ia harus berbuat?"
Maka jawab Beliau, '(Hendaklah)
ia menggosoknya, lalu mengeringkan dengan air kemudian membilasnya, kemudian
(boleh) shalat dengannya.'" (Muttafaqun
'alaih, Muslim I:240 no: 291 dan lafadz baginya, Fathul Bari I:410 no:307).
Kalau setelah itu ternyata
ia masih tersisa bekasnya, maka tidak mengapa. Berdasarkan riwayat dari Abu
Hurairah ra bahwa Khaulah binti Yasar berkata, "Ya Rasulullah aku hanya
mempunyai satu potong pakaian, dan (sekarang) saya haidh mengenakan pakaian
tersebut?" Maka Rasulullah menjawab, 'Apabila
kamu suci, maka cucilah yang terkena daerah haidhmu, kemudian shalatlah kamu
dengannya.' Ia
bertanya (lagi), 'Ya Rasulullah, (bagaimana) kalau bekasnya tidak bisa
hilang?!' Rasulullah menjawab, 'Cukuplah
air bagimu (dengan mencucinya) dan bekasnya tidak membahayakan
(shalat)mu.'" (Shahih:
Shahih Abu Daud no: 351, 'Aunul Ma'bud II: 26 no: 361 dan al-Baihaqi II: 408)
4.
Membersihkan Pancung Pakaian
Wanita
Cara membersihkannya adalah
sebagaimana yang diuraikan riwayat di bawah ini, dari seorang ibu putera
Ibrahim bin Abdurrahman bin 'Auf bahwa ia pernah bertanya kepada Ummu Salamah
isteri Nabi saw., "Sesungguhnya aku adalah seorang perempuan yang biasa
melabukkan pancung pakaianku dan (kadang-kadang) aku berjalan di tempat yang
kotor?" Maka Jawab Ummu Salamah, bahwa Nabi SAW pernah bersabda, 'Tanah selanjutnya menjadi pembersihnya.'" (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 430, Muwaththa' hal 27 no:44,
'Aunul Ma'bud II: 44 no: 379, Sunan Tirmidzi I: 95 no: 143, Ibnu Majah I: 177
no: 531)
5.
Mensucikan Pakaian dari Anak
Kecil yang Masih Menetek
Caranya sebabagaimana yang
diriwayatkan berikut ini, dari Abus Samh, pembantu Nabi saw., ia berkata, bahwa
Nabi SAW bersabda, "Dicuci
(pakaian badan) yang terkena kencing anak perempuan dan (cukup) disiram
dipercik air dari kencing anak laki-laki." (Shahih: Shahih Nasa'i no: 293, 'Aunul Ma'bud II: 36 no: 372 dan
Nasa'i I: 158').
6.
Membersihkan Pakaian dari Air
Madzi
Dari Shal bin Hunaif, ia
berkata, "Dahulu aku biasa mendapati kesulitan dan kepayahan karena madzi
sehingga aku sering mandi karenanya. Lalu aku utarakan hal tersebut kepada
Rasulullah SAW, maka Beliau bersabda, 'Sesungguhnya
cukuplah bagimu hanya dengan berwudhu.' Kemudian
aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimana dengan madzi yang mengenai
pakaianku?' Maka jawabnya, 'Cukuplah
bagimu mengambil setelapak tangan air lalu tuangkanlah pada pakaianmu (yang
terkena madzi) sampai lihat air itu membasahinya.' (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 409, 'Aunul Ma'bud 1: 358 no: 207,
Tirmidzi I: 76 no:115 dan Ibnu Majah I: 169 no: 506).
7.
Membersihkan Bagian bawah
Sandal
Sebagaimana yang
diriwayatkan berikut ini, dari Abus Said ra bahwa Nabi saw. bersabda, "Apabila seorang di antara kamu datang ke masjid, maka
baliklah kedua sandalnya dan perhatikan keduanya: kalau Ia melihat kotoran
(pada sandalnya), maka gosokkanlah ke tanah kemudian shalatlah dengan
keduanya." (Shahih:
Shahih Abu Daud no: 605 dan 'Aunul Ma'bud II:353 no:636).
8.
Mensucikan Tanah/Lantai
Dari Abu
Hurairah ra ia berkata, "Telah berdiri seorang Arab Badui di (pojok) dalam
masjid lalu kencing, maka kemudian para sahabat hendak menghentikannya, lalu
Nabi saw. bersabda kepada mereka, 'Biarkan
dia (sampai selesai) dan (kemudian) tuangkanlah di atas kencingnya setimba air
atau seember air, karena kalian diutus (ke permukaan bumi) sebagai pemberi
kemudahan, bukan ditampilkan untuk menyulitkan.'" (Muttafaqun 'alaih: Irwa-ul Ghalil no: 171, Fathul Bari I: 323 no:
220, Nasa'i I:48 dan 49 dan diriwayatkan secara panjang lebar oleh Abu Dawud,
'Aunul Ma'bud II:39 no:376, dan Tirmidzi I:99 no:147).
Nabi
saw.memerintah para sahabat berbuat demikian hanyalah sebagai tindakan cepat
agar tanah yang dikencingi segera suci kembali. Kalau tanah yang dimaksud
dibiarkan sampai kering dan bau pesingnya hilang maka ia menjadi suci. Ini
didasarkan pada riwayat Ibnu Umar ra. Ia berkata: "anjing-anjing sering
kencing di dalam masjid, dan biasa keluar masuk (masjid) pada era Rasulullah
SAW, dan para sahabat tidak pernah menyiramnya sedikitpun." (shahih:
Shahih Abu Daud no:368, Fathul Bari secara mu'allaq 1:278 no:174 dan 'Aunul
Ma'bud II:42 no: 378)
.
Label:
Najis
Najis
Macam-macam Najis
Terdapat suatu
kaedah penting yang harus diperhatikan yaitu segala sesuatu hukum asalnya
adalah mubah dan suci. Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka
dia harus mendatangkan dalil. Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan dalil
atau mendatangkan dalil namun kurang tepat, maka wajib bagi kita berpegang
dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu pada asalnya suci. Menyatakan
sesuatu itu najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini
membutuhkan butuh dalil.
Macam-Macam Najis
1 -
Kencing dan kotoran (tinja) manusia
Mengenai najisnya
kotoran manusia ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
وَطِئَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلَيْهِ الأَذَى فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُورٌ
“Jika salah
seorang di antara kalian menginjak kotoran (al adza) dengan alas kakinya, maka
tanahlah yang nanti akan menyucikannya.”
Al adza
(kotoran) adalah segala sesuatu yang mengganggu yaitu benda najis, kotoran,
batu, duri, dsb. Yang dimaksud al adza dalam hadits ini adalah benda
najis, termasuk pula kotoran manusia. Selain dalil di atas terdapat juga beberapa
dalil tentang perintah untuk istinja’ yang menunjukkan najisnya kotoran
manusia.
Sedangkan
najisnya kencing manusia dapat dilihat pada hadits Anas,
أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِى
الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- « دَعُوهُ وَلاَ تُزْرِمُوهُ ». قَالَ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ
مِنْ مَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ.
“(Suatu
saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu sebagian orang (yakni sahabat)
berdiri. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan
dan jangan hentikan (kencingnya)”. Setelah orang badui tersebut menyelesaikan
hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta satu ember air lalu
menyiram kencing tersebut.”
Shidiq Hasan
Khon rahimahullah mengatakan, “Kotoran dan kencing manusia sudah tidak
samar lagi mengenai kenajisannya, lebih-lebih lagi pada orang yang sering
menelaah berbagai dalil syari’ah.”
2 - Madzi dan Wadi
Wadi
adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal
mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang
khas.
Sedangkan madzi
adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau
ketika membayangkan jima' (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima'.
Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar
ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki
madzi.
Hukum madzi
adalah najis sebagaimana terdapat perintah untuk membersihkan kemaluan ketika
madzi tersebut keluar. Dari ‘Ali bin Abi Thalib, beliau radhiyallahu ‘anhu
berkata,
كُنْتُ
رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لِمَكَانِ
ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ « يَغْسِلُ
ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ ».
“Aku termasuk orang yang sering
keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini kepada Nabi shallallahu
'alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu
aku pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam. Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Perintahkan
dia untuk mencuci kemaluannya kemudian suruh dia berwudhu”.”
Hukum wadi juga najis. Ibnu 'Abbas radhiyallahu
‘anhuma mengatakan,
الْمَنِىُّ وَالْمَذْىُ وَالْوَدْىُ ،
أَمَّا الْمَنِىُّ فَهُوَ الَّذِى مِنْهُ الْغُسْلُ ، وَأَمَّا الْوَدْىُ
وَالْمَذْىُ فَقَالَ : اغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ
لِلصَّلاَةِ.
“Mengenai mani, madzi dan wadi;
adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu 'Abbas
mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk
shalat.”
3 - Kotoran hewan yang dagingnya tidak
halal dimakan
Contohnya adalah kotoran keledai
jinak, kotoran anjing dan kotoran babi. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata,
أَرَادَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ يَتَبَرَّزَ فَقَالَ : إِئْتِنِي بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ
فَوَجَدْتُ لَهُ حَجْرَيْنِ وَرَوْثَةِ حِمَارٍ فَأمْسَكَ الحَجْرَيْنَ وَطَرَحَ
الرَّوْثَةَ وَقَالَ : هِيَ رِجْسٌ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud bersuci setelah buang hajat. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Carikanlah tiga buah batu untukku.”
Kemudian aku mendapatkan dua batu dan kotoran keledai. Lalu beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil dua batu dan membuang kotoran tadi.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Kotoran ini termasuk
najis”.”
Hal ini
menunjukkan bahwa kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya semacam kotoran
keledai jinak adalah najis.
4 - Darah haidh
Dalil yang
menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita
pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata,
إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ
الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ
“Di antara
kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab,
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ
ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّى فِيهِ
“Gosok dan
keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian shalatlah
dengannya.”
Shidiq Hasan
Khon rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk menggosok dan mengerik
darah haidh tersebut menunjukkan akan kenajisannya.”
5 -
Jilatan anjing (Najis Mughaladhah) najis berat
Dari Abu Hurairah, beliau berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا
وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Cara menyucikan bejana di
antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan
awalnya dengan tanah.”
Yang dipilih oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, bagian anjing yang termasuk najis adalah jilatannya saja.
Sedangkan bulu dan anggota tubuh lainnya tetap dianggap suci sebagaimana hukum
asalnya.
6 -
Bangkai
Bangkai adalah hewan yang mati
begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i. Najisnya bangkai adalah
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin
‘Abbas,
إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
“Apabila kulit bangkai tersebut
disamak, maka dia telah suci.”
Bangkai yang dikecualikan adalah :
a - Bangkai ikan dan
belalang
Hal ini
berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ
فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ
وَالطِّحَالُ
“Kami
dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan
belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.”
b - Bangkai hewan yang
darahnya tidak mengalir
Contohnya adalah
bangkai lalat, semut, lebah, dan kutu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى إِنَاءِ
أَحَدِكُمْ ، فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ، ثُمَّ لْيَطْرَحْهُ ، فَإِنَّ فِى أَحَدِ
جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِى الآخَرِ دَاءً
“Apabila
seekor lalat jatuh di salah satu bejana di antara kalian, maka celupkanlah
lalat tersebut seluruhnya, kemudian buanglah. Sebab di salah satu sayap lalat
ini terdapat racun (penyakit) dan sayap lainnya terdapat penawarnya.”
c - Tulang, tanduk, kuku,
rambut dan bulu dari bangkai
Semua ini
termasuk bagian dari bangkai yang suci karena kita kembalikan kepada hukum asal
segala sesuatu adalah suci. Mengenai hal ini telah diriwayatkan oleh Bukhari
secara mu’allaq (tanpa sanad), beliau rahimahullah berkata,
وَقَالَ حَمَّادٌ لاَ بَأْسَ بِرِيشِ
الْمَيْتَةِ . وَقَالَ الزُّهْرِىُّ فِى عِظَامِ الْمَوْتَى نَحْوَ الْفِيلِ
وَغَيْرِهِ أَدْرَكْتُ نَاسًا مِنْ سَلَفِ الْعُلَمَاءِ يَمْتَشِطُونَ بِهَا ،
وَيَدَّهِنُونَ فِيهَا ، لاَ يَرَوْنَ بِهِ بَأْسًا
“Hammad
mengatakan bahwa bulu bangkai tidaklah mengapa (yaitu tidak najis). Az Zuhri
mengatakan tentang tulang bangkai dari gajah dan semacamnya, ‘Aku menemukan
beberapa ulama salaf menyisir rambut dan berminyak dengan menggunakan tulang
tersebut. Mereka tidaklah menganggapnya najis hal ini’.”
Tersisa
pembahasan beberapa hal yang sebenarnya tidak termasuk najis -menurut pendapat
ulama yang lebih kuat- yaitu mani, darah (selain darah haidh), muntah, dan khomr.
Dan juga masih tersisa pembahasan bagaimana cara membersihkan najis. Semoga
Allah memudahkan kami membahasnya dalam rubrik fiqih selanjutnya.
Label:
Najis
Najis
Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang memiliki tabi’at yang selamat (baik) dan selalu menjaga diri darinya. Apabila pakaian terkena najis –seperti kotoran manusia dan kencing- maka harus dibersihkan.
Pengertian Thaharah, Hadats, Najis dan Kotoran
Secara bahasa, thaharah artinya membersihkan kotoran, baik kotoran yang berwujud maupun kotoran yang tidak berwujud.
Adapun secara istilah, thaharah artinya menghilangkan hadats, najis, dan kotoran dengan air atau tanah yang bersih. Dengan demikian, thaharah adalah menghilangkan kotoran yang masih melekat di badan yang membuat tidak sahnya shalat dan ibadah lain. [Lihat Ibnu Qudamah, Al_Mughni(I/12) dan kitab Taudhih Al_Ahkam karya Abdullah Al_Bassam (I/87)]
Pengertian Hadats
Hadats secara etimologi (bahasa), artinya tidak suci atau keadaan badan tidak suci – jadi tidak boleh shalat. Adapun menurut terminologi (istilah) Islam, hadats adalah keadaan badan yang tidak suci atau kotor dan dapat dihilangkan dengan cara berwudhu, mandi wajib, dan tayamum. Dengan demikian, dalam kondisi seperti ini dilarang (tidak sah) untuk mengerjakan ibadah yang menuntut keadaan badan bersih dari hadats dan najis, seperti shalat, thawaf, ’itikaf.
Pengertian Kotoran dan Najis
Kotoran berasal dari kata kotor, artinya tidak bersih, seperti pakaian yang kena keringat. Adapun najis adalah sesuatu yang keluar dari dalam tubuh manusia atau hewan seperti air kencing, kotoran manusia atau kotoran hewan. Dengan demikian, kesimpulan sementara adalah kotor belum tentu najis, sedangkan barang yang terkena najis pasti kotor. [Lihat Nor Hadi, Ayo Memahami Fiqih untuk MTs/SMP Islam Kelas VII, (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2008), hal. 5]
Dengan demikian, jelaslah bahwa pakaian yang kotor karena terkena keringat dapat dipakai untuk shalat dan sah shalatnya. Akan tetapi, baju yang bersih walaupun belum dipakai namun telah terkena najis, lalu dipakai shalat, maka shalatnya tidak sah.
Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang memiliki tabi’at yang selamat (baik) dan selalu menjaga diri darinya. Apabila pakaian terkena najis –seperti kotoran manusia dan kencing- maka harus dibersihkan.
Perlu dibedakan antara najis dan hadats.
Najis kadang kita temukan pada badan, pakaian dan tempat. Sedangkan
hadats terkhusus kita temukan pada badan. Najis bentuknya konkrit,
sedangkan hadats itu abstrak dan menunjukkan keadaan seseorang. Ketika
seseorang selesai berhubungan badan dengan istri (baca: jima’), ia dalam
keadaan hadats besar. Ketika ia kentut, ia dalam keadaan hadats kecil.
Sedangkan apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti
terkena najis. Hadats kecil dihilangkan dengan berwudhu dan hadats besar
dengan mandi. Sedangkan najis, asalkan najis tersebut hilang, maka
sudah membuat benda tersebut suci. Mudah-mudahan kita bisa membedakan
antara hadats dan najis ini.
Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci
Terdapat suatu kaedah penting yang harus
diperhatikan yaitu segala sesuatu hukum asalnya adalah mubah dan suci.
Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka dia harus
mendatangkan dalil. Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan dalil
atau mendatangkan dalil namun kurang tepat, maka wajib bagi kita
berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu pada asalnya suci. Menyatakan sesuatu itu najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini membutuhkan butuh dalil.
Label:
Najis